gameteeukzurra

gameteeukzurra
teeukye an angel

Selasa, 08 November 2011

PESONA MANGA "NARUTO" BUDAYA TONOTONAN ANAK-ANAK BERBAU KEKERASAN DAN PORNOGRAFI


Sebuah makalah penggugah jiwa
bagi para orang tua yang anaknya keranjingan menonoton NARUTO

BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Budaya nonton bagi sebagian orang sudah menjadi cara yang paling unik untuk menghilangkan kepenatan, kebosanan dan untuk mencari hiburan. Tidak jarang anak-anak bahkan orang dewasa menghabiskan waktunya berjam-jam di depan TV hanya untuk menonton sinetron atau film kesukaan mereka, dan kartun manga merupakan salah satu tontonan yang sangat di gemari oleh anak-anak pada umumnya sebagai contoh kartun manga “NARUTO”. Sekarang, ini anak-anak mana yang tak mengenal Naruto?  Tokoh komik dan film animasi ini sangat popular di kalangan anak-anak. Mereka menggandrunginya, seperti halnya Shinchan beberapa waktu lalu. Namun sama seperti Shincan dan notabene film dan novel asal Jepang lainnya, Naruto mengandung banyak sekali muatan pornografi dan
kekerasan. Jika situasi adegan menjadi benar-benar panas, para karakter di seri Naruto tidak jarang mengatakan “Damn!” (sialan, brengsek) dan “Bastard” (bajingan). Kedua kata ini memiliki makna yang kasar dalam bahasa Inggris. Kekerasan mungkin yang paling kuat tentang Naruto. Menimbang bahwa
Naruto adalah sesuatu yang diperuntukkan bagi anak-anak, jumlah kekerasannya sangat mengejutkan. Walau memang seri Naruto bercerita tentang Ninja, sehingga ada penggunaan seni bela diri kiri dan kanan, namun tingkat kekerasannya sangat melimpah. Ada banyak perkelahian dengan senjata dan banyak darah. Perkelahian itu bahkan menakutkan, dan cukup intens. Jelas bukan sesuatu yang sehat untuk    anak-anak.
Sedangkan adegan-adegan porno Naruto misalnya, dalam film kartun tersebut ada adegan Naruto sedang minum minuman keras, dikelilingi lima perempuan setengah telanjang. Lalu, Naruto yang sedang mabuk berkata; "Serasa di surga." Kartun Naruto juga memuat adegan berciuman dan adegan ranjang. Dalam Naruto juga ada adegan ia tengah mandi dengan seorang perempuan seksi dengan hanya mengenakan baju mandi yang sangat mengundang. Yang memprihatinkan, komik Naruto menempati urutan teratas yang dikonsumsi anak-anak.
1.2 TUJUAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis menginginkan agar pembaca mengetahui dengan jelas tontonan yang pantas bagi anak-anak. Karena anak-anak selalu meniru apa yang di lihat dan di tontonnya maka pengaplikasiannya semakin nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu penulis menginginkan agar para orang tua memperhatikan dan mengontrol tontonan anak-anaknya, bila perlu para orang tua yang menentukan jam nonton bagi anak-anak mereka.

1.3 RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang dan tujuan yang di sebutkan oleh penulis di atas maka ada beberapa masalah yang akan penulis uraikan di makalah ini, yaitu:
1.      Haruskah anak-anak menonton kartun manga “NARUTO?
2.      Apa saja dampak yang bisa di timbulkan akibat dari lalainya para orang tua yang tidak memperhatikan bahan tontonan anak-anaknya, khususnya kartun manga “NARUTO” yang notabene mengandung nilai pornografi dan tindak kekerasan.
3.      Pelajaran yang bisa di ambil oleh para orang tua dalam menyikapi anak-anaknya yang sangat terobsesi pada kartun/manga “NARUTO” ?















BAB II. PEMBAHASAN MASALAH
ANIMA DAN PORTAL MANGA

NARUTO adalah sebuah serial manga jepang yang berkelanjutan dan di ilustrasikan oleh Masashi kishimoto. Plot ini menceritakan tentang Naruto Uzumaki seorang ninja yang terus-menerus mencari pengakuan jati diri dan bercita-cita ingin menjadi Hokage (ninja di desanya yang di anggap sebagai pemimpin dan yang terkuat dari semua. Serial ini di dasarkan pada cerita komik one-shot oleh kishimoto yang langsung di terbitkan dalam edisi agustus tahun 1997 oleh Akamaru.

Manga ini pertama kali diterbitkan oleh Shueisha pada tahun 1999 dalam edisi ke-43 di Jepang majalah Weekly Shonen Jump. Saat ini, manga masih menjadi serial dengan empat puluh tujuh jilid Tankōbon dirilis sejauh ini. Manga ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah anime, yang diproduksi oleh Studio Pierrot dan Aniplex. Ini perdana di Jepang pada jaringan terestrial TV Tokyo dan jaringan televisi satelit anime Animax pada 3 Oktober 2002. Seri pertama berlangsung 220 episode, sementara Naruto: Shippuden, sebuah sekuel dari serial aslinya, telah ditayangkan sejak Februari 15, 2007. Selain serial anime, Studio Pierrot telah mengembangkan enam film untuk seri dan beberapa animasi video asli (OVAs). Jenis barang dagangan termasuk cahaya novel, video game dan kartu perdagangan dikembangkan oleh beberapa perusahaan.

Viz Media telah lisensi manga dan anime produksi Amerika Utara. Yaitu telah menerbitkan seri dalam majalah Shonen Jump, dan juga indidividual volume. Serial anime mulai ditayangkan di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 2005, dan kemudian di Inggris Raya dan Australia pada 2006 dan 2007 masing-masing. Film, seperti kebanyakan OVAs dari seri, juga telah dirilis oleh Viz, dengan premiering film pertama di bioskop-bioskop. DVD pertama volume Naruto: Shippuden dirilis oleh Viz di Amerika Utara pada 29 September, 2009, dan mulai disiarkan di Disney XD pada bulan Oktober dari tahun yang sama.
Lalu bagaimana manga NARUTO ini menjadi tontonan yang di gandrungi oleh anak-anak bahkan remajapun menjadikan NARUTO sebagai tontonan wajib, NARUTO identik dengan anak-anak. Mungkin itulah yang sering kita dengar kalau ada remaja atau orang dewasa yang suka pada naruto atau nonton film naruto. lalu biasanya orang-orang akan langsung memvonis kalau mereka ke  "kanak-kanak" an. sebenarnya terlalu banyak hal untuk menyangkal hal ini.
Tapi kenyataannya adalah rating menunjukkan bahwa film naruto adalah untuk usia 13 tahun ke atas. Sedangkan rating penjualan komik naruto di Indonesia meraih rating pertama, Gufronil Sakaril manager Humas PT. indosiar tbk. Tidak menampik tingginya rating yang diraih Naruto. Film anak-anak ini berhasil mengalahkan Dragon Ball (kini rating-nya1,7), Detektif Conan yang sempat fenomenal juga (1,6 dengan share12,9%), serta Power Ranger yang selama beberapa tahun memiliki ratinglumayan (2,2 dengan share 14,3%. Volume 7 dari serial ini berhasil memenangkan Quill Award untuk
kategori best graphic novel di Amerika Utara. Sementara dalam sebuahpoling 100 Anime terbaik versi TV Asahi, Naruto menempati peringkat 1. Bayangkan begitu banyak anak-anak dan remaja kita yang sangat menyukai komik dan film dari manga NARUTO ini. Jadi haruskah NARUTO menjadi tontonan anak-anak ?
 Ini masalah sosial budaya masyarakat kita plus para pekerja media televisi yang cenderung PUKUL RATA KALAU ANIMASI ITU UNTUK ANAK-ANAK, ini SALAH BESAR.
 ANIMASI juga memiliki kategori seperti halnya film atau buku bacaan (termasuk komik) yang kalau merujuk klasifikasi Jepang adalah:
+KODOMO : anak-anak atau semua umur contohnya DORAEMON
+SHOUJO : remaja perempuan (13 tahun +) contohnya SAILORMOON
+SHOUNEN : remaja laki-laki (13 tahun +) contohnya NARUTO
+JOSEI : dewasa wanita (18+) contohnya HACHIMITSU no CLOVER
+SEINEN : dewasa pria (18+) contohnya CRAYON SHINCHAN

Meski banyak lewat sensor dan sudah di-tone down (sejumlah hal diperhalus misalnya kata-kata, yang aslinya kasar dan merendahkan diganti dengan kata-kata lain) tetap saja ISI ceritanya kan tidak berubah. kalau ditujukan bagi dewasa ya tetap saja isi ceritanya dewasa, yang isinya cerita remaja ya nggak bakal mungkin jadi cerita buat anak-anak. Kenyataan kalau film naruto adalah tidak cocok untuk menjadi tontonan anak-anak karena berbau kekerasan dan pornografi, misalnya dalam film naruto, Jika situasi adegan menjadi benar-benar panas, para karakter di seri Naruto tidak jarang mengatakan “Damn!” (sialan, brengsek) dan “Bastard” (bajingan). Kedua kata ini memiliki makna yang kasar dalam bahasa Inggris. Kekerasan mungkin yang paling kuat tentang Naruto. Menimbang bahwa Naruto adalah sesuatu yang diperuntukkan bagi anak-anak, jumlah kekerasannya sangat mengejutkan. Walau memang seri Naruto bercerita tentang Ninja, sehingga ada penggunaan seni bela diri kiri dan kanan, namun tingkat kekerasannya sangat melimpah. Ada banyak perkelahian dengan senjata tajam, dan banyak darah. Perkelahian itu bahkan menakutkan, dan cukup intens. Jelas bukan sesuatu yang sehat untuk
anak-anak. Sedangkan adegan-adegan porno Naruto misalnya, dalam film kartun tersebut ada adegan Naruto sedang minum minuman keras, dikelilingi lima perempuan setengah telanjang. Lalu, Naruto yang sedang mabuk berkata; "Serasa di surga." Kartun Naruto juga memuat adegan berciuman dan adegan ranjang. Dalam Naruto juga ada adegan ia tengah mandi dengan seorang perempuan seksi dengan hanya mengenakan baju mandi yang sangat mengundang.Yang memprihatinkan, komik Naruto menempati urutan teratas yang dikonsumsi anak-anak. Jadi, hati-hati jika membiarkan anak
anda menonton atau membaca Naruto. Lebih baik, pikirkan seribu kali sebelum mengizinkan mereka
mengonsumsinya. Pada dasarnya Film Kartun yang diputar di Indonesia tercinta ini dapat dibagi menjadi dua sektor / porsi Film kartun :
1.      Porsi anak-anak : Pororo, Dora, Doraemon, Ipin dan Upin.
2.       Porsi Dewasa  : Spongbob, Avatar, Naruto, Shincan, dll.
Memang ironis, sebab Film kartun dengan porsi yang bukan untuk anak-anak  jauh lebih banyak dan lebih sering diputar di beberapa Stasiun TV Indonesia. Kemudian menurut pengamatan pribadi, pada dasarnya (secara naluriah) anak-anak jauh lebih suka film dengan porsinya mereka (porsi anak-anak), sebab seorang anak cenderung tertarik pada warna (gambar) ketimbang jalan cerita. Namun mengapa banyak anak yang berpaling ke porsi yang lebih dewasa? Mungkin karena si orang tua sendiri yang cenderung me 'mindset' si anak, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini juga bisa disebabkan oleh factor lingkungan misalnya pengaruh dari saudara yang lain, tetangga, teman dll. Jujur saja, saya adalah penggemar film AVATAR, dari segi penggarapan, audio visual, dan jalan cerita sangat runtut dan apik. ada konflik dan ada penyelesaian secara dewasa. Namun menurut saya film ini merupakan film tataran untuk ukuran dewasa pasalnya dari segi penonjolan cerita mengutamakan cinta dan drama romantisme orang dewasa. Hal ini terbukti, ketika Film Avatar telah rampung episodenya, dan saya tidak memonopoli acara kartun lagi. Adik saya dengan sendirinya selalu memilih Film Pororo di pagi harinya padahal AVATAR tetap ada sesi tayang ulangya. Saya sendiri cukup bersyukur karena sampai saat ini tidak ada efek negatif yang dikarenakan oleh film AVATAR, mungkin karena ceritanya yang cukup singkat, dan kinerja BADAN SENSOR FILM yang bagus, selain itu juga karena dalam film ini mengusung cerita yang tidak mudah dicerna oleh anak-anak,  jadi anak-anak cenderung melihat gambarnya dan warnanya saja (bandingkan gambar tokoh naruto dan Ang (avatar), Avatar lebih imut dan lucu). Namun bagi anda (orang tua) yang masih menggemari film kartun atau film apapun itu (termasuk sinetron) INGAT Anak anda semakin besar, dan semakin dewasa, kemampuan berfikirnya juga semakin tinggi. Baik film kartun maupun yang bukan kartun sebenarnya sama saja, hanya objeknya (aktornya) saja yang berbeda, perihal jalan cerita, isi cerita dan visualisasinya, TIDAK ADA BEDANYA (banyak sinetron yang mempertontonkan wanita dengan pakaian seksi). Coba anda bandingkan : Ronaldowati & The Kickers Filmnya baim & Ipin dan Upin Sinetron2 & Kartun porsi dewasa. Tidak ada bedanya bukan? Hanya karena kartun saja kemudian banyak orang bilang "Itu film Anak-anak". Padahal tidak sedikit orang dewasa yang turut menonton, menyewa filmnya, dan mengkoleksi Komiknya.
Pengalaman pribadi yang beberapa kali yang saya alami adalah suatu saat Beberapa anak berseragam merah-putih yang sedang bergerombol di halaman samping rumah sedikit menyita perhatian saya. Bukan karena adik saya ikut bergabung di sana ataupun aktifitas yang mereka lakukan mengarah ke hal-hal yang negatif. Namun aksesoris yang mereka pakai dan stilistika gerak merekalah yang menggamit hati saya. Mereka memasang sapu tangan di kepala, lengan, dan paha ala Naruto. Mereka pun juga bergaya kekonyol-konyolan dan membodohkan diri sesuai dengan karakter tokoh Naruto dalam film yang sepengetahuan saya memang bodoh. Pemahaman saya sebagai pengamat menggiring pada kesadaran bahwa tahapan pertama dalam belajar adalah imitatif. Dengan kata lain, beragam materi yang masuk dalam benak seorang anak yang sedang menambah-nambah pengetahuannya (belajar) akan teraktualisasi dalam lakuan peniruan. Dus, materi film yang terserap ke dalam ruang benak anak-anak juga menjadi materi pembelajaran yang menambah pengetahuan dan terimplementasikan dalam bentuk lakuan fisik yang dapat direkam oleh lingkungan di sekitarnya. Menjadi sedikit ngilu hati ini ketika lakuan fisik budi pekerti seperti salam, tata krama berbicara maupun bersikap, yang seharusnya menjadi konsumsi pembelajaran anak-anak (terutama usia dini) terpinggirkan oleh materi film anak-anak yang kita tahu sendiri berlatar belakang budaya asing. Bisa kita bayangkan andaikata generasi muda kita kelak akan lebih mirip anak-anak negeri Sakura yang bodoh, ataupun anak-anak negeri Paman Sam yang bodoh ketimbang anak-anak Indonesia yang cerdas, terampil, dan tahu tata karma dalam budaya kita. Dewasa ini, film anak-anak yang mondar-mandir di layar kaca telah mengundang banyak gugatan. Ketua Penelitian dan Pengembangan Lembaga Studi Pers dan Informasi (Lespi), Wisnu Tri Hanggoro, misalnya, menilai  banyak film yang aktornya anak-anak dan film animasi yang ditayangkan di stasiun televisi justru tidak memberikan pendidikan pada anak sebagai penontonnya. Justru banyak film anak yang memperlihatkan unsur kekerasan dan kebencian terhadap sesama, tuturnya dalam Lokakarya “Menonton Televisi Secara Sehat” (11/8/2009). Tri Hanggoro juga menambahkan bahwa acara televisi yang aktornya anak-anak justru banyak yang membodohkan karena selain sering menyajikan hal-hal yang tidak logis, juga mengandung kekerasan, dan kebencian terhadap sesama.
Dipayana dalam bukunya “Nabi Televisi, Malas Belajar dan Belajar Untuk Malas” (2004) mengatakan bahwa tayangan film anak-anak di televisi telah menanamkan paradigma dan perilaku yang sejalan dengan materi tayangan. Bisa disimpulkan bahwa film anak-anak telah memberikan sumbangan besar pada dekadensi moralitas serta terpinggirkannya nilai-nilai pendidikan dari keluarga, sekolah, atau bahkan pendidikan agama. Hal ini tercermin dari mengakarnya pengetahuan tentang film serta imbasnya dalam pembentukan karakter anak ketimbang nasehat, ceramah, dan tausiah.
Gugatan Tri Hanggoro maupun kajian Dipayana di atas, apabila secara jernih kita renungkan, memang ada benarnya, terutama pada film-film animasi. Film animasi merupakan genre film anak-anak yang paling mendominasi dari pada film bertema anak-anak. Apalagi stigma bahwa film animasi adalah film anak-anak menyingkirkan fakta bahwa tidak semua film animasi merupakan konsumsi anak-anak. Bagi yang gemar mencari  anime di internet pastilah memahami bahwa ada film animasi Jepang (manga) yang bergenre blue film (BF) yang kaprah disebut Hentai. Film animasi, yang mayoritas merupakan produk impor, dalam tayangan televisi senantiasa berlabel SU (Semua Umur) dan masuk dalam kategori sebagai tayangan anak-anak. Parahnya, media menggiring opini orangtua untuk berjamaah mengamini pelabelan tersebut. Akibatnya? Sungguh luar biasa. Berkembang toleransi, permisivisme besar, atau asyik-asyik aja terhadap film-film itu untuk dikonsumsi anak-anak. Bahkan, saya pribadi  pernah menjumpai keluarga yang membebaskan anaknya seharian penuh ditemani Cartoon Network melalui layanan Indovision.
Sebelum film animasi Jepang (manga) memiliki ruang perkembangan yang membuat banyak stasiun televisi menggendongnya kemana-mana, Walt Disney menjadi raja diraja film animasi dunia. Pada era tersebut, film animasi tidaklah bisa dikategorikan aman konsumsi bagi anak-anak kita. Coba kita kenang Mickey dan Minni, Donald dan Daisy, ataupun Goofie. Coba kita renungkan, sudah waktunyakah anak-anak kita yang belum akil baligh menikmati tayangan cerita bertema percintaan, plus dengan trik-trik menarik perhatian lawan jenis, merebut pacar, adegan percintaan seperti ciuman, mengirim surat dan bunga yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut? Film animasi produk Jepang pun senantiasa membubuhkan tema percintaan, kendati cuma tema sampingan. Mulai dari Sailor Moon yang  identik dengan rok mini dan mottonya “Dengan Kekuatan Cinta Akan Menghukummu!”, Dragon Ball, Detektif Conan, hingga Naruto. Jika kita tengok merebaknya kasus-kasus pedofilia yang dilakukan abg-abg, bukan tak mungkin diilhami oleh tokoh Jiraiya (Petapa Nakal) dalam Film Naruto yang hobby mengintip orang mandi. Bisa jadi perilaku negatif tokoh ini menjadi inspirasi dan berkembang tanpa terdeteksi karena mendapat asupan gizi buruk dari media televisi. Inspirasi ini kemudian meledak saat perkembangan usia memasuki masa pubertas sehingga gadis-gadis ingusan pun menjadi pelampiasan. Berarti, film animasi juga memberikan dukungan penuh pada percepatan pertumbuhan libido pada anak-anak. Benarkah itu?
Selain tema-tema percintaan plus-plus, ada bumbu penyedap lain yang senantiasa hadir dalam jalinan cerita film-film animasi, yakni kekerasan. Kekerasan menjadi primadona dalam beragam tema film animasi. Bahkan dalam film animasi seperti Barbie, ataupun Tom & Jerry, kekerasan masih hadir dalam kemasan romantisme ataupun humor. Bisa jadi kita tidak putus-putus tertawa menyaksikan Tom yang ngeyel mengejar-ngejar Jerry namun tawa tersebut akan hilang tatkala menyaksikan anak-anak kita menirukan trik-trik mereka untuk menjatuhkan satu sama lain yang cenderung sadis.
Bahkan dalam film-film animasi yang murni bertema kekerasan seperti, Dragon Ball, Inuyasha, Samurai X, dan Naruto. Sadar atau tidak, pemirsa disuguhi pesan eksistensi seseorang semata bisa dibangun dengan menjadi yang terkuat (dalam hal fisik dan kekuasaan). Pemirsa yang notabene anak-anak dipaksa meyakini bahwa eksistensi mereka dapat dibangun dengan mengalahkan orang lain, seperti halnya Son Goku, Inuyasha, Naruto, dan Batosai Si Pembantai. Padahal, eksistensi seorang manusia idealnya dibangun dengan menarik simpati dan kesan positif pada publik. Tentu saja hal ini sangat bertolak belakang dengan filosofi budaya masyarakat Indonesia yang mengajarkan untuk kaya tanpa kekayaan, perkasa tanpa ilmu tertentu, dan menang tanpa harus mengalahkan.
Mari kita tengok bersama rentetan aksi-aksi kejahatan yang berbau kekerasan, aksi main hakim sendiri, tawuran antar mahasiswa/pelajar, anarkisme kelompok yang bermotif agama, ataupun bentrok antarwarga, besar kemungkinan merupakan efek negatif doktrinasi nilai-nilai kekerasan tayangan-tayangan film animasi. Mungkin sekali untuk dinilai terlalu menjustifikasi, mengingat banyaknya faktor penyebab lain seperti tingkat pendidikan, karakter demografi, menggejalanya krisis kepercayaan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apabila secara jujur kita renungkan, maka film animasi adalah satu faktor penyebab tumbuhnya paradigma kekerasan yang menjangkiti masyarakat kita dewasa ini.
Tidak ada paradigma maupun pola perilaku yang mendadak lahir tanpa proses panjang. Paradigma maupun pola perilaku berkembang dari proses transfer nilai yang kompleks dan multidimensi. Namun, satu hal yang menuntut untuk kita dasari bersama adalah fakta bahwa tayangan film-film animasi memiliki efek yang luar biasa dalam pembangunan paradigma, karakter, maupun pola perilaku pada diri seorang anak. Lakuan fisik seperti stilistika perilaku maupun pemakaian aksesoris yang meniru karakter dalam film animasi menjadi penanda bahwa proses transfer nilai tengah berlangsung. Nilai-nilai yang diterima memang tidak muncul secara tiba-tiba, namun pasti melalui proses perjalanan yang mungkin sekali memakan waktu. Sayangnya, penanda-penanda kecil yang menjadi cerminan proses transfer acap kali luput dari perhatian kita.
Suatu misal, ketika mendapati anak kita menjadi agresif. Kita terkadang hanya menilai bahwa anak tersebut nakal dan menuntut tindakan represif tanpa upaya menelusuri latar belakang agresifitas anak tersebut. Padahal, setiap hari film animasi telah mengambil peran guru dan mengajarkan banyak hal kepada anak kita tanpa kita sadari. Anak kita telah akrab dengan pukul ataupun jebakan ala Tom & Jerry. Anak kita telah dekat dengan sabetan pedang hitten mitsurugi Kenshin Himura. Anak kita telah mengenal romantika pacaran dari Sailor Moon. Bahkan, anak kita telah belajar mengalahkan teman-temannya seperti halnya Naruto, Sasuke, dan Sakura. Kita tak sadar bahwa tontonan adalah tuntunan. Mungkin terlihat bahwa anak-anak kita hanya bersantai menjadi penonton. Namun, marilah kita sadari bahwa anak-anak kita juga sedang belajar (di bawah bimbingan Guru Film Animasi). Masih belum hilang dari ingatan kita tentang banyaknya anak - anak yang keranjingan games Smack Down lantas memperagakannya sehingga tanpa disadari perbuatan tersebut membawa korban jiwa. Dan ternyata hal seperti ini terjadi lagi namun bukan dikarenakan keranjingan games melainkan keranjingan tokoh kartun idolanya...NARUTO Dalam salah satu berita siang distasiun swasta beberapa waktu lalu, diberitakan seorang bocah SD harus kehilangan nyawanya karena diperkirakan sibocah tengah bermain peran menirukan idolanya NARUTO. Walau telah diperingatkan oleh sang adik yang melihat kakaknya melilitkan ikat pinggang kelehernya. Namun kekhawatiran sang adik tidak digubris selang beberapa saat kemudian si adik kembali kekamar dan menemukan sang kakak telah terbujur kaku, terlihat ikatan ikat pinggang begitu ketat dan diperkirakan hal tersebutlah yang membuat bocah tersebut meninggal. Coba kita bayangkan, betapa kuatnya pengaruh tayangan - tayangan televisi terhadap jiwa anak - anak, apalagi bila sudah keranjingan alias ketagihan sehingga menjadi NARUTO MINDED.
Disini pentingnya peran serta orangtua dalam memberikan pengarahan dan penjelasan terhadap serial - serial yang berbau action tersebut. Salah seorang responden saya bercerita tentang dia pernah ditanya oleh anaknya yang sangat senang dengan tokoh SPIDERMAN. Sehingga segala pernak - pernik yang bergambar tokoh tersebut pun selalu ingin dimiliki. Sambil mengenakan kostum Spiderman lengkap dengan penutup kepalanya, anaknya berdiri dianak tangga paling atas dan berteriak kepadanya, " Ma, lihat daffa mau lompat niy.." spontan saja si ibu mendelik. Saya tidak menyangka bila film jepang Naruto bisa ditiru oleh anak SD dengan tanpa memikirkan resikonya. Duh, inilah tugas untuk semua orangtua untuk lebih berhati - hati dan mengikuti segala tayangan yang ditonton putra – putrinya iya kan?
 Apa yang harus dilakukan sebagai orang tua?
Bukanlah sebuah masalah yang besar dan sulit kita lakukan andaikata kita melakukan pengurangan jam tonton, pemilah-milahan judul yang layak tonton, serta pendampingan pada saat menonton. Tetapi, yang cenderung rumit adalah teknik penyampaian yang kita gunakan. Anak kita bisa diberikan pengertian plus tawaran yang lebih menarik untuk tidak hanya menonton film animasi. Teknik represif menjadi pilihan paling akhir, satu dua sanksi kita berikan apabila anak-anak kita menunjukkan keengganan. Kita memang tidak boleh total melarang anak-anak kita menjadi penikmat film animasi. Akan tetapi, dari sekian banyak film animasi yang ditayangkan oleh stasiun televisi ada juga yang memberikan efek negatif apabila tidak disertai pendampingan dan pengertian dari orang tua.

BAB IV. PENUTUP
1.1.KESIMPULAN

Budaya nonton adalah budaya yang sudah mendarah daging bagi anak-anak, apalagi anak-anak yang sangat menyukai kartun atau manga yang notebene berlabel tontonan untuk semua umur, tapi nyatanya adalah justru tontonan itu sangat tidak baik di tonton oleh anak-anak yang sangat rentan mengikuti dan mencontiohi apa yang telah di lihatnya. Sebut saja film naruto yang sekarang lagi marak di kalangan anak-anak tapi juga bagi para remaja, yang mana dalam satu stasiun televise yang menayangkan Manga ini justru member label semua umur bagi konsumennya. Padahal kalau di teliti dengan gambling ada sangat banyak perilaku dan tindakan dalam kartun tersebut yang menggambarkan kekerasan dan pornografi. Sehingga kejelian orang tua sangat di perlukan untuk memperhatikan dan mengontrol sekaligus membimbing anaknya pada tontonan yang menjadi konsumen anak-anaknya. Kesimpulan berdasakan responden yang penulis temui adalah rata-rata orang tua tidak memperhatikan kartun jenis apa yang telah di tonton oleh anak-anak mereka. Mereka menyebutkan bahwa sudah barang tentu kartun adalah tontonan yang memang di buat untuk anak-anak jadi mereka jarang bahkan sama sekali tidak memperhatikan nilai-nilai negative pada film tersebut. Pola mindset yang mensugesti pikiran mereka bahwa semua film kartun adalah tontonan wajib bagi anak-anak.


1.2.SARAN

Saran yang penulis tawarkan kepada pembaca khusunya orang tua adalah sebagai berikut:
1.      Hendaklah orang tua yang memegang kendali atas remote control di rumah agar mereka bisa membatasi hal-hal apasaja atau saluran apasaja yang pantas di tonton oleh anak-anak mereka.
2.      Hendaklah mereka tahu jenis kartun yang di tonton oleh anak-anaknya. Apakah itu tontonan bagi anak-anak atau remaja atau bahkan dewasa.
3.      Batasi jam nonton bagi anak-anak.
4.      Memiliki pengetahuan umum tentang bahaya tindak kekerasan dan pornografi sehingga dapat menjelaskan dengan gamplang kepada anaknya jika suatu saat anaknya bertanya mengapa si anak tidak boleh menonton film anima tersebut. Segenap kritik dan saran sangat di perlukan oleh penulis demi terciptanya suasana umpan balik antara penulis dan pembaca. Selain itupula demi menunjang kesempurnaan pada makalah-makalah selanjutya.
DAFTAR PUSTAKA
Andrio arianta, 2009. Anakku di asuh oleh naruto nyama widya: Bandung
Goal gong, 2009. Harian republika, suara muhamadiyah, tabloid hikmah mengupas seluk beluk dunia manga  nyama widya: Bandung













PESONA MANGA NARUTO BUDAYA TONTONAN ANAK-ANAK
BERBAU KEKERASAN DAN PORNOGRAFI



OLEH
INDRAWATI
F211 08 033


JURUSAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011